Aku bergegas mengejar salah satu pintu lift yang terbuka dari sederetan
lift yang ada. Pagi itu agak sepi hanya ada beberapa orang di dalam
lift. Sampai di lantai 6 tinggal aku dan seorang gadis, dari tombol lift
kuketahui dia akan turun di lantai 8. Kulirik gadis itu, wajahnya tirus
hidung kecil mancung, bibir tipis dan mata agak sipit, rambutnya lurus
sebahu. Kulitnya putih halus khas gadis chinesse. Tubuhnya sedang tinggi
sekitar 158 cm dengan berat proporsional, mungkin 48 kg. Mengenakan
setelan blazer dan rok mini warna kuning gading kontras dengan kulitnya
yang putih bersih.
Gadis yang menarik, kutaksir umurnya sekitar 26
tahun. Kucoba mengajak tersenyum yang disambutnya ramah, dengan singkat
kami saling berkenalan. Namanya Eline, bekerja di kantor consultant
management di lantai 8. Aku sendiri bekerja di lantai 10. Kami terlibat
obrolan basa ? basi sampai dia turun di lantai 8.
Aku terus
menuju lantai 10 ke kantorku. Sesampai di kantor aku segera tenggelam
dalam pekerjaan mengecek report ? report yang masuk sampai menjelang
istirahat siang. Aku teringat Eline dan ingin meneleponnya. Dari
pengelola gedung dengan mudah kudapatkan nomor telepon kantornya.
Kutelepon dia yang disambutnya dengan ramah. Kami ngobrol sampai sekitar
15 menit.
"Eh, Lin, makan siang bareng yuk", ajakku.
"Aku tahu tempat makan yang enak" lanjutku.
"Makasih Fer, kayaknya nggak bsas deh", tolaknya halus.
"Aku ada janji sama temen, tuh sudah nungguin orangnya", sambungnya lagi.
"Wah, sayang sekali.. gimana kalau besok", kejarku.
"Lihat besok aja deh..", elaknya.
Demikianlah,
Eline selalu menolak dengan halus setiap kali kuajak makan siang.
Sampai hampir dua minggu kemudian aku baru bisa mengajaknya makan siang
kembali. Selama itu setiap hari kami saling menelepon.
Oh ya aku
lupa mengenalkan diri, namaku Ferdy seorang pribumi, umur 30 dengan
postur sedang tinggi 175 berat 66. Lulusan sebuah institut teknologi
ternama di negeri ini dan sekarang bekerja di sebuah perusahaan
kontraktor pertambangan minyak sebagai asisten manager, berkantor di
kawasan bisnis Jakarta. Aku sudah beristeri, Miranda namanya, umur 28
lulusan fakultas ekonomi dari universitas swasta terkemuka di Jakarta.
Miranda bekerja di sebuah perusahaan akuntan publik dan karena
keinginanya bekerja demikian tinggi hingga sekarang belum ingin punya
anak.
Hubunganku dengan isteri baik-baik saja bahkan bisa dibilang harmonis.
Setelah
dua bulan sejak perkenalanku dengan Eline, kucoba mengajaknya menonton
bioskop. Kebetulan hari Minggu siang isteriku berangkat ke Balikpapan
untuk mengaudit sebuah perusahaan di sana. Eline menerima ajakanku
nonton dan minta dijemput di tempat kostnya. Eline ini orang tuanya
tinggal di Bandung jadi dia kost di Jakarta di daerah Kuningan.
Pada
jam yang ditentukan aku meluncur menuju kost Eline, tepat pukul 17.15
aku sampai. Rupanya dia sudah menunggu di ruang tamu. Sejenak aku
tertegun melihatnyanya, mengenakan T-shirt Armani biru tua ketat yang
memperlihatkan lekuk tubuhnya. Dadanya tampak menonjol kencang walau
tidak terlalu besar. Dipadu dengan celana jeans yang juga ketat sungguh
menarik penampilannya.
"Ehh, kok malah bengong sih.. ayo berangkat!", serunya dengan muka memerah.
"OK..!, kemana nih?", tanyaku.
"Lho, bukanya kamu yang punya acara..?", sergah Eline.
"Ok.. Ok.. ke planet Holywood saja ya..?", aku memotong cepat.
"Terserah..", jawabnya pendek.
Tidak
terlalu tergesa aku mengemudikan mobil sambil mengobrol menuju ke
planet Holywood. Aku tidak terlalu memusingkan mau menonton film apa,
yang penting bisa mengajak Eline keluar. Sesampai tujuan, ternyata
antrian loket sangat panjang.
"Wah, kayaknya harus antri nih..", kataku.
"Iya, jadi males nih..", sambung Eline.
"Nggak usah nonton saja ya..?", tanyaku minta pertimbangan.
"Iya deh.. makan saja yuk, aku agak lapar nih", jawab Eline.
Kami batal nonton, akhirnya makan di sebuah restoran yang ada di situ.
Kami
mengobrol agak lama sampai pukul 20.30, sampai akhirnya dia mengajak
pulang. Obrolannya diteruskan di tempat kost saja katanya. Tentu saja
aku sangat setuju. Segera kami meninggalkan restoran tersebut menuju
kost Eline. Sesampai di kostnya suasananya sepi, teman?teman kostnya
masih pada keluar. Eline mengajaku langsung masuk ke kamarnya.
"Ngobrol di dalam saja Fer..", ajak Eline.
Aku mengangguk senang.
"Tapi.. nggak apa-apa nih..?", tanyaku pura-pura ragu.
"Ah kamu.. di sini orang dewasa semua kok, santai saja.", jawabnya.
Kamarnya
cukup luas dan tertata rapi, khas kamar seorang gadis. Kami duduk
berhadapan di atas spring bed yang digelar di lantai. Eline menyandarkan
punggungnya ke dinding. Kami segera terlibat obrolan ringan sampai
akhirnya matanya memandang cincin di jariku.
"Kamu sudah married, Fer.. atau tunangan?", tanyanya.
"Married", jawabku singkat.
Dia
terdiam cukup lama. Sebenarnya dia sudah melihat cincin itu agak lama
tapi baru sekarang dia mempertanyakannya. Suasana jadi agak kaku, aku
jadi serba salah. Akhirnya aku pindah ke sebelahnya agak merapat. Kuraih
tangannya dan kugenggam.
"Eline, sejak kita ketemu aku selalu memikirkanmu.. aku ingin dekat denganmu", kataku perlahan.
Dia diam saja dengan mata menatap kosong ke depan. Kucoba mengelus rambutnya.
"Apa yang kau harapkan dariku?", tanyanya agak ketus.
"Aku hanya ingin dekat, itu saja." jawabku cepat.
"Hanya pelarian dari masalah dengan isterimu, begitukah..?!" sergah Eline.
"Tidak!" jawabku.
"Hubungan kami OK-OK saja", lanjutku.
"Aku hanya ingin berada dekat kamu."
Eline
terdiam sambil tercenung. Memang benar. Meskipun isteriku sebenarnya
cantik tapi sejak bertemu Eline aku sangat terobsesi. Dalam pergaulanku
sekarang ini aku banyak bertemu wanita cantik tapi sebelum?sebelumnya
tidak ada ketertarikan. Berbeda dengan Eline, begitu melihatnya aku
sangat tertarik. Memang sebenarnya aku selalu tertarik melihat wanita
keturunan. Menurutku mereka sangat cute, lembut dan punya daya tarik
yang lebih. Walau menurutku mereka sangat menarik tak tahu kenapa dulu
aku tidak mengawini mereka saja. Padahal dengan pergaulanku yang luas
semasa kuliah dulu sebagai aktivis kampus, teman-temanku tidak terbatas
di lingkungan kampusku saja tapi juga dari berbagai kampus di Jakarta
maupun Bandung. Dengan penampilanku yang sampai sekarangpun masih sering
dilirik para wanita, tentu tidak sulit buatku untuk memperistri gadis
chinese. Entah kenapa, yang jelas isteriku adalah juga seorang pribumi
sepertiku.
Eline masih terdiam cukup lama. Perlahan kuelus
rambutnya. Tanganku bergeser mengelus pipinya yang halus, Eline masih
diam. Dari pipi tanganku bergeser menuju lehernya yang putih,
mengelus-elus leher. Eline agak merosot duduknya setengah rebah, matanya
terpejam. Bibirku mulai mendekati mulutnya.
"Paling aku kena tampar kalau dia marah nanti", pikirku.
Pelan
kukecup sekilas. Eline tidak bereaksi. Kuberanikan lagi kembali
mengecup kali ini agak lama, masih tidak ada reaksi. Matanya tetap
terpejam. Aku merasa tidak mendapat penolakan. Maka kembali bibirku
mendarat di bibirnya kali ini dengan lumatan halus.
"Mmmhh..", Eline melenguh pelan.
Aku
seperti mendapat persetujuan saja. Segera bibirnya kulumat dengan
panas. Lidahku menyusup ke dalam mulutnya yang agak terbuka,
mengais-ngais lidah dan rongga mulutnya. Mulutnya mulai bereaksi
membalas lumatanku.. cukup lama lidahku bermain dalam mulutnya. Tanganku
yang mengelusi lehernya mulai turun menyusuri leher ke bawah menuju
dada.
Dari luar T-shirtnya tanganku menggapai.. meraba dada kananya. Perlahan tanganku mulai meremas lembut bukit dadanya.
"Mmmhh.. hh..", Eline kembali melenguh pelan.
Sementara
mulut dan lidahku kembali menyerang dengan ganasnya. Tanganku mulai
menarik lepas ujung T-shirtnya dari dalam celana dan menyusup ke balik
pakaian atasnya. Tanganku terayapi perut yang halus terus ke atas menuju
dada kanan. Tanganku kembali meremas-remas dada dari luar BH. Sementara
itu di atas Eline dengan panas mengimbangi kulumanku. Lidahnya tak mau
kalah menyelusup ke dalam mulutku. Lidah kami saling membelit dengan
mulut menghisap kuat. Tanganku mulai menyusup dari celah cup BH masuk
menyentuh langsung bukit dadanya.
Jariku mencari-cari puting
payudaranya. Putingnya terasa mungil namun tegang mencuat. Kuelus?elus
dengan jari sambil sesekali kupilin pelan. Lenguhan Eline semakin keras.
Kualihkan serangan bibir dan lidahku ke lehernya yang halus.
"Oouuhh.. Fer..", erang Eline.
Perlahan
aku mengangkat T-shirtnya ke atas sampai melewati dada. Terlihat
dadanya yang putih. T-shirt itu terus kuangkat sampai akhirnya melewati
kepalanya, lepas. Sekarang dadanya sudah terbuka. Dadanya putih sekali,
tertutup Triumph ukuran 32 B warna soft cream menutupi bukit dada yang
tidak begitu besar. Kembali mulutku mengecupi leher dan belakang
telinga, sementara tanganku sudah menyusup kebalik BH meremasi secara
langsung bukit dada yang sudah mengembang tegang. Jariku memilin
putingnya yang mungil.
"Oouuhh..", Eline melenguh sambil menggelinjang.
Tubuhnya
sekarang sudah rebah sepenunya. Tanganku terus bermain di bukit dadanya
sebelah kanan kemudian berpindah ke dada kiri. Mulutku bergerak
menyusuri leher, dengan jilatan panas dan basah terus menuju bawah.
Sementara tanganku keluar dari dalam cup BH dan mengelus-elus
punggungnya yang halus. Kubuka kaitan BH-nya di punggung, lepas sudah.
Lidahku menyusuri leher menuju bahunya sebelah kanan, terhalang tali BH.
Sesampai pada tali BH di bahu tersebut kugigit tali itu sambil kugeser
turun melewati ujung bahu kananya. Karena kaitan BH di punggung sudah
lepas maka tali BH di bahu kanan itupun akhirnya terlepas. Mulutku
kembali ke atas menyeberangi dada menuju sebelah kiri. Dengan cara yang
sama aku melepaskan tali BH dari bahu kirinya. Terlepas sudah BH
tersebut. Tapi karena posisi Eline telentang maka meskipun sudah lepas,
BH tersebut masih menutupi dada.
Sementara itu tanganku sudah
menyusup ke balik celana jeansnya terus masuk dibalik CD. Sambil
mengelus-elus tanganku bergerak terus ke bawah. Tanganku menyentuh
bulu-bulu halus yang tidak terlalu lebat. Terus bergerak ke bawah menuju
pusat kewanitaannya. Basah.. lembab. Jariku menggesek-gesek di mulut
kewanitaannya.
"Ouughh.. Fer.. rr..", Eline mengerang.
Kupandangi
wajahnya, matanya terpejam. Mulutku segera mengambil inisiatif menggigit
BH-nya dan menariknya lepas dari tubuh bagian atas. Terpampanglah
keindahan yang benar-benar elok. Bukit dadanya sangat putih kencang,
dihiasi puting kecil mungil berwarna kemerahan di kedua ujungnya. Tidak
terlalu besar, bahkan cenderung kecil. Bagai buah apel muda. Tapi justru
itulah keindahannya. Buah dada yang tidak besar namun kencang seperti
yang umumnya dimiliki gadis chinese, sungguh mendatangkan pesona bagai
sihir yang tak pernah habis.
Perutnya rata, putih halus tanpa
noda dihiasi dengan pusar yang indah. Mulutku segera mendarat di perut,
lidahku menjilati pusarnya, bergerak terus ke atas dengan jilatan hangat
menyusuri perut menuju dada kirinya. Sesampai di dada tidak langsung
menuju pusat tapi mengitari lereng bukit dadanya dengan jilatan basah.
Di bawah, tanganku tetap menggesek-gesek mulut kemaluannya sehingga
menjadi semakin basah.
"Oohh.. Ferr..", Eline kembali mengerang.
Puas
menyusuri lereng dadanya mulutku menuju puncak dada, lidahku menjilati
putingnya. Kemudian mulutku pun langsung mengulum bukit dadanya
tersebut. Bukit dada kiri itu segera hilang dalam mulutku. Mulutku
langsung menyedot kuat sambil lidahku mengais-ngais putingnya. Di bawah,
jariku sudah masuk ke dalam kemaluannya.
Kugerakan maju mundur perlahan, terasa lubang itu semakin basah.
"Ouugghh.. hh..", Eline mengerang semakin keras.
Tubuhnya
menggeliat perlahan. Aku semakin bersemangat menyedot-nyedot buah
dadanya dan jariku semakin cepat bergerak keluar masuk di kemaluannya.
Ada sekitar 5 menit aku mempermainkan buah dada dan kemaluannya.
Sampai
akhirnya tiba-tiba tubuhnya menegang. Kakinya kaku, lurus mengarah ke
bawah. Pangkal pahanya menjepit tanganku. Tubuh Eline mengejang beberapa
saat.
"Aarrgghh.. Ouuhh", Eline mengerang keras sekali.
Kurasakan ada aliran hangat meleleh dari lubang kemaluannya.
"Ah.. Eline sudah mendapatkan orgasmenya yang pertama", pikirku.
Eline
tergolek lemas dengan mata terpejam. Kukeluarkan tanganku dari dalam
celananya yang basah. Kucoba menarik turun celana jeans sekaligus dengan
CD-nya, tetapi agak sulit. Akhirnya Eline sedikit mengangkat pinggulnya
ke atas untuk membantuku melepaskan celananya. Kutarik turun jeans
berikut CD itu melewati paha terus sampai lutut.. tidak ada hambatan,
terus melewati mata kaki, dan akhirnya terlepas seluruhnya.
Terpampanglah
pemandangan indah yang lain. Sepasang paha yang putih mulus dengan
bulu-bulu halus, di atas pangkalnya dihiasi rambut halus yang tidak
terlalu lebat melindungi pusat kewanitaanya. Kemaluanya tampak membentuk
parit kecil dengan bibir kemerahan agak membentuk gundukan. Sejenak
kupandangi tubuh Eline. Yang terlihat adalah sosok seorang dewi.
Tubuhnya yang sedang dengan dada yang indah dibalut kulit putih halus
sungguh merupakan perpaduan yang luar biasa. Aku kembali mencium
bibirnya.. memagut dengan lumatan-lumatan panas. Eline menyambutnya
dengan bergairah. Tanganku meremasi bukit dadanya kiri dan kanan
bergantian. Sementara itu Eline memagutku.. menyedot mulutku kuat-kuat.
Sambil tetap menciumnya aku melepas kemeja sport yang kukenakan.
Kemudian menyusul celana jeans sekaligus CD-ku.
Penisku yang
sudah tegang sedari tadi segera mengacung ke depan. Kini aku menempatkan
tubuhku di atasnya. Tubuhku sepenuhnya menindih tubuhnya. Dengan tangan
kanan kutempatkan batang penisku tepat mengganjal di depan mulut
kemaluannya. Tanganku kembali meremasi bukit dadanya bergantian kiri dan
kanan. Sementara mulutku masih terus menyedot-nyedot mulutnya dengan
lidah saling membelit. Sejenak kuhentikan remasan tanganku di dadanya..
Aku memeluk erat-erat tubuhnya. Kunikmati sentuhan kulitnya ditubuhku..
terasa bukit dadanya yang mengganjal di dadaku. Putingnya terasa tegang
mengeras.. terasa sangat nikmat. Gesekan kulit telanjang yang halus
sungguh mendatangkan sensasi luar biasa. Setelah berdiam sejenak aku
mulai menggerakkan pinggulku, menggesek-gesekan batang penisku di mulut
kemaluannya. Sementara tanganku meremasi bukit dadanya lagi.
"Oohh.. mmppffhh..", mulut Eline mencari-cari mulutku.
Setelah
ketemu, lidahnya langsung menyerbu masuk ke rongga mulutku. Dengan
goyangan berirama aku terus menggesekan-gesekan penisku.
"Oouuhh.. Ferr..", Eline kembali mengerang.
Mulutnya
menyedot sangat kuat.. Eline tampak sudah kehilangan kendali. Aku
sendiri juga sudah tak tahan.. sudah terbakar. Segera tanganku mencari
penisku yang sudah mengembang sangat tegang dan keras. Kuarahkan
ujungnya ke lubang kemaluannya.
Walau kemaluannya sudah sangat
basah tapi aku tidak langsung memasukkanya. Kugeser-geserkan di mulut
kemaluannya beberapa saat.. Kemudian perlahan kutekan masuk.
"Plepp..", sedikit masuk ujungnya.
Pelan-pelan kugoyang-goyang sambil kudorong masuk.
"Aahh.. ouuhh", Eline mengerang sambil menggelinjang.
Pelan
tapi pasti penisku masuk semakin ke dalam. Mata Eline terpejam rapat..
tidak ada kesakitan di sana, yang ada hanya nikmat. Penisku sudah masuk
lebih separuhnya.. Sambil kugoyang terus maju.. sampai akhirnya
tenggelam ditelan kemaluannya.
Kugoyang keluar masuk penisku
pelan-pelan makin lama makin cepat. Mulutku bergeser dari bibir ke
rahang bawahnya.. menjilati dengan dengan lidahku terus bergeser kearah
leher. Tanganku tetap meremasi kedua bukit dadanya sambil memilin
putingnya.
"Aaahh.. ouuhh.. ahh..", erangan Eline semakin sering dan keras.
Lidahku
menjilati leher, belakang telinga dan masuk kedalam lubang telinganya.
Ada sekitar lima belas menit tubuh Eline kugoyang terus yang
diimbanginya dengan menggerak-gerakkan pinggulnya ke kiri ke kanan
sambil sesekali dia desakkan keatas. Sampai akhirnya tubuhnya mulai
menegang. Makin kupercepat gerakan penisku keluar masuk dikemaluannya.
"Plepp.. pleep.. plepp", terdengar bunyi gesekan penis dengan lubang kemaluan yang sudah sangat basah.
"Aaahh.. hh..", tiba-tiba tubuh Eline mengejang sambil tangannya mencengkeram pangkal lenganku.
"Ouuhh.. Ferr..", matanya terkatup rapat.
"Seerr..", terasa aliran hangat membasahi ujung dan batang penisku.
Eline
mengejang sampai beberapa saat kemudian akhirnya tubuhnya terkulai
lemas. Aku sendiri sudah mulai mendaki ke puncak, tanpa memberi waktu
Eline beristirahat, segera aku tancap gas. Goyanganku makin kupercepat
sambil mulutku kembali memagut mulutnya. Setelah berdiam beberapa waktu
Eline kembali naik. Lumatanku dibalasnya dengan ganas.
Sementara tanganya meremas-remas rambutku. Dengan penuh perasaan tanganku meremas dan memilin dadanya.
"Pplepp.. plopp.. pplepp..", terdengar bunyi kecipak basah.
Batangku
terasa penuh menyesaki lubang kemaluannya. Gesekan kemaluan kami
sungguh terasa nikmat. Akhirnya tubuh Eline kembali menegang. Aku
sendiri merasakan ada aliran hangat mengaliri batang kemaluanku menuju
ujungnya.
"Ahh.. Ferr.. Ouhh..", Eline mengejang sambil menggigit bibirnya, tangannya memelukku erat.
"Serr.. seerr", terasa aliran hangat dalam kemaluannya.
Kutekan penisku dalam-dalam sampai pangkalnya.
"Arrgghh.. hh.."
"Croott.. croott.. crroott..", beberapa kali penisku menyemburkan lahar panas di rongga kemaluannya.
"Aahh.."
Badanku
terasa lemas. Aku berdiam diri beberapa saat diatas tubuhnya sambil
batang penis masih tetap menancap di dalam kemaluannya. Kami nikmati
sensasi pasca orgasme yang terasa tak kalah nikmatnya. Suasana terasa
hening.. sepi. Eline membuka matanya dan kemudian melihat ke dalam
mataku. Kukecup lembut bibirnya.. kemudian dahinya.
Aku lalu
berguling turun ke sampingnya. Kami berbaring bersisian dengan berdiam
diri agak lama. Aku beringsut dan memandanginya, kutatap wajahnya.
Terlihat ada butiran air mata.
"Kamu menyesal?", tanyaku.
"Wanita ke berapa aku ini dalam petualanganmu, Fer!", Eline tidak menjawab malah balik bertanya.
Aku diam saja tidak berusaha menjawab. Suasana jadi hening.
"Sudahlah, nggak usah dijawab!", sambungnya lagi tiba-tiba.
"Sudah malam Fer, pulanglah!", lanjut Eline sambil bangkit menuju lemari pakaian.
Kulirik
jam dinding, sudah pukul 11.45. Wah, cukup lama juga kami bercinta. Aku
segera bangkit dan mengenakan pakaianku. Sementara Eline sudah
mengenakan daster tidurnya dan berdiri menyandar dinding sambil
memandangiku yang masih memasang sepatu. Selesai berpakaian kuhampiri
Eline.
"Barusan tadi sangat berarti buatku", kataku sambil memegang tanganya.
Eline
tidak menjawab dan memalingkan mukanya dengan mulut terkatup rapat.
Akhirnya kukecup lembut bibirnya. Dia diam saja tidak bereaksi.
Aku pamit padanya dan bergegas meninggalkan kamarnya. Pelan-pelan aku menyusuri jalanan Jakarta yang masih ramai.
Semenjak
kejadian itu hubunganku dengan Eline terus berlanjut. Kami
mengulanginya setiap ada kesempatan dan itu terjadinya hampir seminggu
dua kali. Kami melakukanya di hotel, di kostnya, bahkan pernah juga di
ruangan kerjaku di kantor. Tapi yang paling sering di hotel saat makan
siang. Selama delapan bulan kami masih tetap berhubungan sampai akhirnya
Eline melanjutkan S-2 nya keluar negeri. Kadang-kadang aku masih
menerima emailnya sampai sekarang yang menceritakan kerinduanya.